Jarak Bukanlah Halangan Bagi Kita yang Punya Alasan untuk Bertahan

shares

Aku meletakkan cangkir putih bercorak bunga sakura itu dan memandang ke arahmu yang sedang sibuk berkutat dengan laptop. Wajahmu terlihat sangat serius sembari membaca setiap email yang masuk. Berpikir sebentar lalu jari-jemarimu mulai merangkai kata. Sebuah senyuman kecil tersimpul di bibirku. Aku membatin dalam hati. Betapa tingginya tuntutan pekerjaanmu tidak menghalangimu untuk terbang menghampiriku di sini. Lalu, aku kembali menyeruput teh yang masih terasa hangat-hangat kuku itu. 

Tak lama kemudian, kamu menutup laptop dan melayangkan senyum lebar kepadaku diiringi dengan sebuah rangkulan kecil pada pundakku. Percakapan untuk saling bertukar rindu pun kembali dilanjutkan. Tatapan mata dan sentuhan yang tak dihalangi oleh jarak. Pertemuan yang setiap hari selalu aku nantikan.

Perjalanan asmara kita jelas memupuk rindu yang tak berkesudahan. Banyak tantangan yang mencoba keras untuk mendobrak masuk, menyelinap ke dalam, dan mengutak-atik kontak rasa antara kita. Sederet pengorbanan dan perjuangan terpatri hampir di setiap alurnya. Tapi, toh, kita tetap bertahan.
“Perjalanan ini memang tidak mudah. Tapi, hubungan ini memberikan pelajaran yang bermakna untuk kita.”
Kepercayaan menjadi tonggak utama yang menopang beratnya bentangan jarak antara kita.
Apa yang sedang kamu lakukan di sana? Dengan siapa kamu pergi? Aku hanya bisa berpegang pada setiap kata yang kamu utarakan. Ya, hanya itu saja. Begitu pun sebaliknya.
Kepercayaan merupakan fondasi dasar bagi kita untuk membangun hubungan ini dari bawah. Tanpa kepercayaan, semua ini tidak akan ada artinya.
Aku tak akan berbohong. Puluhan kali rasa curiga menyelimuti hatiku. Keraguan atas ucapan yang kamu sampaikan. Ketidakyakinan atas fakta yang tidak dapat aku lihat. Semua itu aku alami.
Tapi, percuma saja hidup dengan penuh ketakutan, bukan? Tak ada gunanya memelihara pikiran negatif dan membiarkan diri ini dilingkupi oleh kekhawatiran yang belum tentu benar. Jadi, tak perlu aku berasumsi dan menebak-nebak sesuatu yang tidak pasti. Karena segala sesuatunya akan terbukti sendiri suatu saat nanti. Saat ini, aku hanya perlu percaya saja.
“Membangun kepercayaan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dan menghancurkan kepercayaan itu hanya sesingkat sebuah kejapan mata.”

Sesibuk apapun aktivitas kita, komunikasi tetap harus terjaga. Hal inilah yang akan memperkokoh rasa antara kita.
Perbedaan aktivitas yang dijeda oleh jarak menjadikan komunikasi bukanlah perkara kecil. Ya, benar. Urusan sesederhana saling bertukar kabar bisa menjadi pemicu perselisihan yang berujung besar. Kesalahpahaman itu ibarat hal yang sudah lumrah terjadi.
Namun, aku dan kamu tetap harus saling mengerti. Toleransi dan saling menghargai perlu dijunjung tinggi. Segala ganjalan yang menggantung di dalam hati akan kita sampaikan dengan kepala dingin. Saling berdiskusi dan memahami keinginan masing-masing demi mencapai titik temu yang kita sepakati.
Karena kita sama-sama belajar. Komunikasi penuh emosi tidak akan membuahkan hasil yang kita kehendaki. Kita perlu bersabar dan tetap menjaga perasaan masing-masing pribadi.
“Komunikasi itu ibarat oksigen dalam sebuah hubungan. Karena kepercayaan dapat hidup jika ada komunikasi yang terbina dengan baik.”

Walau masalah datang silih berganti, tapi komitmen yang sama membuat kita tidak menyerah dan berhenti.
Selalu ada pengorbanan. Selalu ada perjuangan. Ini memang tidak mudah. Tapi, menjalaninya bersamamu tidak membuat hubungan ini terasa begitu berat.
Kita berselisih, kita berdebat. Ada kalanya pula aku merasa gerah. Hubungan yang minim kontak langsung ini tentu menyimpan segudang tantangan.
Tapi, kita tidak menyerah. Karena komitmen yang sama menjadi tempat kasih kita bermuara dan tempat kaki kita kembali berpijak. Kita tahu ada sesuatu yang akan kita tuju di akhir jalan ini.

“Kesamaan visi dan misi yang telah kita rajut bersama dari awal. Komitmen inilah yang menjadi benang inti dalam hubungan kita.”
Kita menghentikan langkah kaki kita di sini. Kamu berdiri menghadapku dan menatap lekat mataku. Ada sesuatu yang tersirat dari caramu memandangku. Aku memahaminya tanpa perlu ada translasi ke dalam kata. Kita berbincang singkat dan saling memberikan pelukan hangat. Lalu, kamu membalikkan badan dan mulai berjalan menarik kopermu, menjauhi tempatku berdiri dalam diam.
Aku hanya mampu menatap punggungmu. Aku menghela napas dan tersenyum. Jarak dan waktu kembali menjadi penghubung antara kita. Rindu kembali menjadi penghias kisah kita.
Kejujuran dan kesetiaan kita sedang diuji saat ini. Tapi, aku akan bersabar. Hingga nanti saatnya semesta menyatukan kita.
"Sebab ini bukan hanya soal rasa yang membuncah dari dalam dada. Namun, juga soal cita yang ingin kita perjuangkan bersama. Bukankah begitu, sayang?”

idntimes.com

Related Posts