Atas Nama Ketidakberdayaan, Kita yang Tak Seiman Harus Saling Melepaskan Genggaman
17.44.00 |
Aku tidak tahu sejak kapan keresahan
itu melanda jiwa kita. Jarum jam yang melaju kita lewati dengan langkah
yang ragu-ragu. Ada semacam rasa khawatir luar biasa yang tak kunjung
reda di dalam dada: Perbedaan kita, mampukah kita buat tiada?
Kita sama-sama tahu, bahwa saat ini kita hanya menjalani kebersamaan
semu yang terlalu rapuh. Sebab, suka tidak suka, mau tidak mau, kita
akan sampai di persimpangan yang memaksa kita untuk mengambil jalan yang
berlainan. Bukan berdampingan. Sebab, dalam perbedaan kita, terkandung
janin perpisahan yang bisa lahir kapan saja tanpa kita bisa menolaknya.
Harusnya kita bersyukur atas pertemuan ini. Tapi mengapa Tuhan menuliskan takdir dengan akhir yang getir?
Aku takut. Kamu juga kalut. Kita mendadak menjadi manusia yang pengecut.
Masing-masing dari kita mulai menyalahkan pertemuan yang menciptakan
cinta dan luka dalam satu paket yang sama. Tapi, bukankah menyalahkan
pertemuan berarti juga menyalahkan Tuhan? Dan itu bukanlah sesuatu yang
pantas dilakukan oleh manusia seperti kita.
Justru seharusnya kita bersyukur atas pertemuan yang telah diciptakan
oleh tangan yang Maha Kuasa. Sebab pertemuan kita telah merajut hal-hal
indah yang kelak akan kita kenang dengan senyuman. Meski begitu,
barangkali tetap ada hal yang sangat disesalkan: Mengapa Tuhan juga
menuliskan takdir dengan akhir yang getir?
Kata mereka “Amour Vincit Omnia”. Bahwa cinta mengalahkan segalanya.
Tetapi bagi kita, cinta begitu tak berdaya ketikas berhadapan dengan
satu kenyataan Tuhanku dan Tuhanmu berbeda.
Kita mengerti tidak ada pertemuan yang berjalan abadi tanpa ada
perpisahan yang kelak terjadi. Mungkin, bukan kehendak Tuhan untuk
mempersatukan setelah mempertemukan. Dan kita yang tak punya daya tak
lagi bisa berbuat apa-apa selain dengan tega membunuh cinta atas nama
ketidakberdayaan jiwa.
Mungkin yang mereka katakan itu benar adanya. Cinta yang terpaut perbedaan iman adalah sebuah ujian.
Sejak awal, kitalah yang terlalu egois. Memaksakan diri untuk saling
menautkan hati meski kita tahu ada batas yang tidak akan mampu kita
lalui. Lantas atas nama perasaan yang berbunga-bunga kita berpura-pura
bahwa semuanya baik-baik saja. Hingga kita sampai pada waktu di mana
kita sadar, bahwa kita tidak bisa selamanya menipu diri. Bahwa kita
butuh kepastian.
Kita yang terlanjur berbeda akan membawa cinta ini kemana? Aku yang
berlari menujumu, atau kamu yang mengikutiku? Walau bagaimanapun juga,
kebersamaan kita terlalu rapuh. Tetapi kita belum siap untuk menjauh.
Jika kita mau jujur, cinta yang kita coba pertahankan tak kan sebanding
dengan cinta yang Tuhan kita berikan. Mungkin benar apa yang mereka
katakan, bahwa cinta yang terpaut perbedaan iman adalah sebuah ujian
apakah kita lebih mencintai Tuhan atau justru berbalik meninggalkan.
idntimes.com